Maka tidak heran jika keris menjadi kuat bagi pemiliknya yang membawanya sebagai makna mistis. Nilai-nilai kebatinan ini dalam pandangan Jawa berarti bahwa kekuatan keris tidak terbentuk secara tiba-tiba, karena berasal dari proses tempa dalam pembuatan keris yang dilakukan dengan perilaku spiritual terlebih dahulu. Perilaku pembuat keris misalnya melakukan puasa (mutih atau ngebleng) dan sesaji dalam adat kerohanian Jawa. Bentuk keris adalah keris yang berbentuk lurus dan berkelok-kelok (ber-luk). Konon keris lurus lebih sering dipakai oleh para bangsawan daripada keris yang berkelok-kelok. Keris secara estetis mengandung makna simbolis dan filosofis.
Ada dua macam keris menurut sejarahnya, yaitu keris kuno dan keris Buddha. Kami menilai keris dari aspek dhapur, pamor, dan gaya (tangguh) dan aspek jiwa mistik (tuah). Dhapur adalah bentuk atau bentuk keris, misalnya dhapur sengkelat, dll. Pamor adalah motif atau ornamen yang mewakili lukisan yang muncul dari keris saat proses penempaan dan pelipatan. Kemudian gaya (tangguh) berkaitan dengan waktu pembuatan keris. Seperti tangguh Majapahit, Mataram, Singosari dll. Tuah berkaitan dengan nilai spiritual yang dicapai ketika sang empu (pembuat keris) membuatnya. Nilai makna simbolis keris terlihat pada dhapur. Arti nama-nama dhapur menjadi bernilai filosofis.
Dhapur menjadi kekuatan simbolik yang kuat di samping ‘pamornya’. Sebagai ciri simbolis dan filosofis yaitu sipat kandel, penjual dan peng koleksi keris pusaka diharapkan mampu memberikan kehormatan bagi pemakainya. Keris memiliki makna simbolis yang penuh. Penciptaan keris dari bentuk dan penata yang unik memiliki ciri khas yaitu pamornya.
Pada dasarnya pamor merupakan hasil penyatuan atau integrasi antara besi dengan meteorit karena secara etimologis pamor berasal dari kata 'amor' = menyatu, kohesif). Daftar dan aneka keris pusaka kuno dibuat dengan perilaku spiritual untuk memenuhi nilai spiritual keris dari empu (pembuat keris). Dari perspektif kerisologi maka makna simbolis dari dhapur keris memiliki ciri-ciri seperti dhapur tilam upih, dhapur pudak jangkung, dhapur sempana, dhapur carang soka, dhapur sabuk inten, dan dhapur sengkelat. Dhapur dan pamor keris terjangkaumemiliki ciri khas yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi pemberian makna pada keris tidak hanya satu motif keris dhapur, tetapi juga bentuk keris yang lurus dan berkelok-kelok yang jumlahnya mencapai ratusan.
Hubungan tersebut perlu terus menerus untuk menjaga keseimbangan horizontal dan vertikal, yang horizontal menjaga keseimbangan dirinya (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos) dalam keseimbangan dan menjaga keseimbangan vertikal untuk Keesaan (Tuhan). Keris terbuat dari bahan baja dan nikel serta bahan meteorit. Keberadaannya kini sebagai kumpulan nilai estetis dan simbolik. Lebih tegas dikatakan Guntur, sebagai warisan budaya Indonesia, keris terjangkau tidak hanya mencerminkan pencapaian puncak kemampuan teknis dengan kecanggihan seni, tetapi juga mencerminkan puncak pencapaian filosofi.
Selain itu, fungsi keris tidak hanya sebagai alat perang, tetapi juga sebagai pelengkap sesajen. Keris menurut asalnya dapat ditemukan pada peninggalan artefak budaya pada relief candi. Awalnya, candi yang berisi relief bilah dan juga keris ditemukan di Candi Prambanan, Candi Penataran, Borobudur dan Candi Sukuh yang berkisar antara abad ke-9 hingga ke-15 Masehi. Data visual tertua tentang keberadaan senjata tikam dapat dilihat pada peninggalan zaman megalitik di Pasemah yang disebut 'Batu Gajah' (batu gajah). Pada relief tersebut terdapat sosok yang di pinggangnya terselip semacam bilah yang mungkin merupakan jenis keris yang pertama. Pada abad ke-19 ketika masyarakat Jawa pada masa budaya Hindu, beberapa prasasti menyebutkan kata 'keris', dalam bahasa Jawa kuno.
Secara visual pada sumber relief, bentuk keris terdapat pada Lingga (lingga) di Candi Sukuh. Di situs Candi Sukuh, Karanganyar di Jawa Tengah terlihat bagaimana proses pembuatan keris dilakukan secara kasat mata pada sebuah relief.